Minggu, 19 Agustus 2012

Untitled

Dua hari yang lalu saya ikut serta dalam acara yang umum terjadi ketika bulan Ramadhan tiba, yak, buka bersama. Bertempat di sebuah mal di Jakarta (lebih umum lagi) acara buka bersama pun dilaksanakan dengan kedatangan saya yang telat satu jam dari bedug maghrib dan menjadi orang terakhir yang ditunggu. Acara pun berjalan standar seperti acara lainnya yang diisi oleh: makan & minum, saling cela, diem2an sebentar, melontarkan pertanyaan yang lazimnya ditanyakan; habis darimana? udah batal berapa? taraweh dapat berapa? libur kapan? dst.

Selagi hang-out di coffee shop sambil duduk-duduk ga sopan, ada satu hal yang mengganjal saya, yaitu pacarnya sahabat saya. Sahabat saya merupakan seorang wanita cantik dengan titel akademi yang lumayan dan pekerjaan yang mampu membuatnya berhedonis tanpa mengadahkan tangan kepada orang tua. Pacarnya itu seorang posesif-over protektif yang pernah tertangkap basah selingkuh (!) walaupun lewat chat BBm (intermezzo: teknologi ini memudahkan sekali ya untuk kegiatan yang satu itu). Saya tidak menyukainya bukan karena sudah menyakiti sahabat saya, menurut saya itu adalah urusan pribadi mereka berdua, tapi karena dia tidak tau tempat dan waktu dengan maksa nempel kepada sahabat saya yang sudah lama tidak ketemu teman-teman SMP-nya. Saya tidak bermaksud sok eksklusif untuk menentukan siapa yang boleh/tidak boleh ikut ketika acara kumpul-kumpul, kalau mau, sok atuh mari monggo. Tapi bisa ga lepasin muka bete dan ga nyambungnya? Gitu loh...

Dan ternyata, ketika sahabat saya dan pacarnya itu memutuskan untuk pulang (yeah duluan, bisa ditebak), saya dengan sahabat-sahabat yang lain merasakan hal yang sama. Seorang sahabat saya berterus terang kepada sahabat wanita saya tadi (sebut saja Mawar, jangan, X) bahwa X itu seperti anugrah untuk pacarnya dan pacarnya seperti musibah. Jahat, memang. but true friend stab you in the front, doesnt't it? X diam saja. yang lebih mengagetkan lagi, sebelum saya datang ternyata X sempat menangis dihadapan sahabat-sahabat saya yang berjumlah 3 orang dikarenakan pacarnya itu menelfon untuk memaksa datang kumpul bersama kami disaat X sudah menolak. See, ketidaksukaan saya pada seseorang tidak pernah tanpa alasan kok.

Hal seperti ini saya dengar bukan hanya sekali, bahkan saya alami pun pernah, X datang (setelah ngaret 2 jam dari waktu yang disepakati) dengan mata sembab, didampingi pacarnya yang seolah tidak terjadi apa-apa, disaat X berderai air mata dan membuat suasana canggung. Phew. X sendiri sudah berpacaran selama 1,5 tahun dan saya mendengar keluhannya yang serupa ketika usia hubungan mereka belum genap setahun. Belakangan ini saya ketahui X beberapa kali meminta kepada salah seorang sahabat untuk mencarikannya pacar baru. Hal yang kemudian saya renungi: apakah untuk bahagia harus selalu ada/dengan seseorang (baca: pacar)? Karena terus terang hal ini bertolak belakang sekali dengan pemikiran saya yang, jangan menggantungkan kebahagiaan kepada seseorang, reach your own happiness. Definisi seorang anti-sosial? saya kira tidak, bukankah itu hal yang wajar? (tetep nanya, tanda ragu).

Beberapa pertanyaan juga terbersit karena hal-hal seperti ini umum saya jumpai pada lingkungan sosial, mengapa mempertahankan hubungan yang sering menguras bagian emosional, waktu, energi, pikiran, dan hal-hal lainnya yang jika disalurkan terhadap kegiatan yang lebih positif akan lebih berguna. Rangkaian jawaban seperti,
  • sayang, hubungan ini sudah berjalan bertahun-tahun. 
  • malas melakukan pendekatan lagi dari nol. Konteksnya dengan keluarga/temen-temen pacar maupun adaptasi sifat.
  • gengsi nggak punya pacar
  • nggak bisa sendiri,
Menurut saya itu semua adalah alasan yang praktis namun mengorbankan kebahagiaan dari hidup yang singkat ini. Hal ini terus terang saja membuat saya apatis dan skeptis terhadap komitmen. Terlalu banyak disekitar saya yang menyakiti satu sama lain ketika berkomitmen. Membuang janji, bertingkah egois, memaksakan kehendak, kebohongan-kebohongan yang brutal, hingga mengobral rayuan terhadap makhluk lain yang tidak lebih baik dari pasangannya.

Manis saat masa PDKT kemudian pahit pada saat resmi menjalin hubungan, merupakan kenyataan yang membuat saya bersikap sinis terhadap gagasan pacaran. Saya sendiri menunggu hubungan yang menghargai janji dan mengedapankan keterbukaan sehingga nggak ada tuh yang namanya main dibelakang dan sibuk sendiri ketika bertemu. Having someone who can be laugh at with. Mimpi? Well it's only a thought of dream come true to life that keep you alive, isn't it.



Bukan Pencerahan

Usai salat Ied, salah satu topik yang dibahas oleh khatib adalah ciri-ciri orang yang paling sedikit dihisab di akherat nanti;

a. Orang yang memberi kepada orang yang tidak suka memberi.
b. Memaafkan orang yang telah dzalim kepada kita.
c. Menyambung silaturahmi kepada orang yang telah memutus silaturahmi terhadap kita.

Bok, susah ya.