Pirates of The Opera
Agustus 2013
Angin semilir
membelai lembut wajahku. Menyentuh rambutku yang bergelombang dan membawanya
bergoyang. Aku terpaku sambil menopang dagu, menatap desiran ombak di
hadapanku. Warnanya berbaur dengan kacamata hitam yang sedang kupakai, membuat
nyaman terhadap warna yang tampak pada pandangan. Saat ini matahari Pantai Nusa
Dua bercahaya dengan sangat terik, menyengat kulit. Namun aku tidak
memedulikan. Cukuplah memercayakan krim penahan panas matahari menjalankan
tugasnya.
Aku menghela nafas, menegakan badan dan membenarkan gaun
musim panas berlengan buntung yang sedang kupakai, berkali-kali mengangkat gaun
dan memperlihatkan sebagian kulit di atas lututku. Gaun berwarna biru langit
ini pun kupakai saat pertama bertemu dengannya. It’s been four years, but still, he’s all I’m thinking of. Radit...
***
Juli 2008
Aku
bersahabat dengan Andien selama lebih dari 5 tahun hingga sekarang masuk masa
perkuliahan. Walaupun kami berbeda universitas namun kami selalu menyempatkan
waktu untuk bertemu, termasuk ketika masa liburan semesteran datang. Aku dan
Andien menjadwalkan untuk berwisata ke Pulau Dewata, Pulau Bali. Kami
memutuskan untuk pergi kesana dikarenakan terakhir berkunjung adalah sama-sama
ketika SMA (ketika itu masa study tour), budget untuk kesana juga masuk ke
kantong mahasiswa kami dan, biasalah, kami ingin berpesta hingga tepar. Sudah
menjadi rahasia umum jika pergi ke Bali maka setiap hari adalah hari libur.
Dengan
bermodalkan nekat pergi hanya berdua dan setelah browsing tempat-tempat wisata
dengan harga backpacker, sampailah
kami di Bali. Melalui rekomendasi seorang teman, kami memutuskan untuk pergi ke
The Bay.
“Tempat
apaan tuh?” tanyaku kepada Andien yang sedang menyetiri mobil sewaan kami.
“Ya
istilahnya kaya food court gitu cuma
ini jauh lebih besar dan pastinya, ada pantai! Bening banget cuy gue liat
tempatnya. Yang gue penasaran banget sih ada restoran namanya Pirates, jadi
makannya di rumah pohon gitu, bisa ketemu tupai cuy!” walaupun matanya tertutup
oleh kacamata hitam, namun aku dapat mengatakan ia berbinar-binar penuh
semangat. Aku menurut saja memercayakan pilihan Andien. Selama ini untuk urusan
selera, aku selalu menemukan kecocokan dengannya dalam hal apapun.
“Cuy,
bule cuy... ganteng!” seru Andien mengarahakan pandangan kepada dua orang pria
turis asing yang sedang bercakap di pinggir jalan yang kami lewati. Ah ya,
termasuk kecocokan selera dalam menilai tipe pria.
Akhirnya
perjalanan aku tahu mendekati The Bay dikarenakan pada perempatan terdapat
sebuah penunjuk jalan dengan tulisan “The Bay” besar-besar. Tidak lama kemudian
kami disambut oleh gerbang berarsitektur pura yang megah dan kami diarahkan
kepada jalanan yang berkelok. Sepanjang jalan aku kagum terhadap pemandangannya
yang bersih dan terawat. Tidak heran jika tempat ini dijadikan tempat
pariwasata internasional. Sepertinya Andien mempunyai kebanggaan yang sama
denganku karena untuk beberapa saat kami terdiam hanya menikmati perjalanan
area The Bay.
“Nah
ini,” kata Andien tiba-tiba, “kamu mau yang mana Nung, ada banyak pilihan
restonya. Kita tinggal parkir disini kemudian berjalan kaki karena letak
merchantnya semua berdampingan.”
Andien
memberhentikan mobil di depan tugu dengan brand-brand merchant yang terdapat di
area The Bay. Ada De Opera, Bebek Bengil, Chinese Restaurant Hong Xing... “aku
sih penasaran sama Pirates yang sempet kamu ceritain itu,” putusku, “kita
nongkrong disana aja yuk!” Andien pun menganggukan kepalanya dengan mantap.
Andien
memarkir mobil dan memasuki food area kami disambut dengan lorong yang di
kanan-kirinya terdapat patung-patung memancurkan air. Patung yang berwujud
nenek dan kakek memakai baju adat Bali sungguh pemandangan yang menentramkan
dan penuh harmoni. Mengetahui berada pada tempat yang sarat dengan budaya di
alam yang sangat indah. Begitu melewatinya, mataku langsung disajikan dengan
pemandangan pantai luas yang biru dan seperti bersinar. Beruntung cuaca cerah,
aku dan Andien terpaku sejenak sambil mengeratkan topi pantai di kepala kami.
“Sini,”
aku menggandeng Andien ke arah area yang bertuliskan Pirates Bay. Aku sudah
tidak sabar untuk mengagumi keindahan kontrasnya biru laut dengan pasir
berwarna khaki ini dari atas pohon! Whoa, kami langsung disuguhi oleh
pemandangan kapal yang terdampar di daratan. Dengan tidak sabar, aku dan Andien
setengah berlari ke arah bar terbuka tidak jauh dari situ.
“Halo!”
tiba-tiba sesosok pemuda muncul dari balik bar. Aku sekonyong-konyong berhenti
mendadak, dikarenakan pemuda itu sangat, mmm, good looking.
“Hai,”
Andien terkikik membantuku, “orange juice dua ya, please!”
“Berdua
aja nih?” tanya pemuda bartender tersebut sambil memotong-motong jeruk dan
memerasnya. “Iya,” kataku sambil mengeluarkan senyum terbaikku sambil
malu-malu. “Sering kesini?” tanyanya sambil menuangkan sari jeruk ke dalam
shaker. “Baru pertama kali. Mungkin kamu bisa jadi guide kita?” ujar Andien dengan agresif. Aku hanya tersenyum
sembari mengagumi keberanian Andien dalam berkomunikasi. Tapi itulah ciri khas
Andien sejak lama, tipis antara agresif dengan supel.
Bartender
tersebut tertawa. Gosh, aku suka mendengar tawanya. Begitu lepas dan... renyah.
Renyah?
“Emang
sukanya kemana?” bartender tersebut kembali mengarahkan pandangan kearahku.
Kali ini Andien membiarkanku untuk bersuara, namun aku malah salah tingkah. “Ng...
kemana aja yang penting terbakar matahari.”
Pemuda
tersebut tertawa lagi, “oh gitu ya? Lagi program ngitemin badan emangnya, biar
kayak bule-bule ya?”
Komentarnya
cheesy dan pasaran, namun aku tidak
memedulikan. That face is still
dominating my eyes, baby... Aku hanya tersenyum menerima segelas jeruk
dingin yang selesai ia buatkan.
“Udah
kemana aja?” tanyanya lagi. Ya ya ya this
guy always launch some common question but strangely, I feel glad. “Kita
baru sampai kemarin malam jadi masih seputaran hostel aja,” jawabku. Andien
melirik penuh arti. Ia tahu jika aku sudah menjawab dengan jujur pertanyaan tottally stranger, maka aku sepenuhnya
tertarik. Andien mengenal karakterku yang tak acuh kepada pemuda asing jika mulai
sok kenal. Dan aku... memperlakukan bartender muda ini berbeda.
Keseluruhan
bartender ini memiliki badan yang tinggi dan langsing, cenderung kurus.
Hidungnya super mancung dinaungi alis yang tebal dan mata yang meneduhkan.
Tulang pipinya proposional dengan garis rahang yang kuat.
“Tinggal
dimana?” gantian aku yang bertanya.
“Di Jimbaran
situ deket.”
Dan
mulailah kami bertiga asyik berbincang mengenai hal-hal yang umum. Kuliah
dimana, asal kota darimana, hingga tempat liburan wisata faforit. Perlahan
senja mulai mendatangi pantai Nusa Dua dan area tempat kami mengobrol pun
meredup. Cahayanya digantikan oleh puluhan obor yang dipasang pada arena
Pirates Bay. Sayup-sayup mengalun suara musik dikumandangkan, terdengar alunan
lembut dari musik Sweetheart yang dibawakan oleh band indie dari Denmark, Tiger
Baby. Aku terdiam dan menikmati suasana yang indah ditambah menikmati pilihan
musik yang menenangkan. Inilah salah satu definisi bahagia bagiku. Senja,
pantai, sahabat, dan pemuda asing yang menarik hatiku.
***
Seperti
yang sudah dapat diterka, aku dan sang bartender tidak dapat memungkiri chemistry yang kami miliki, sedikit
banyak berkat bantuan Andien juga yang memancing kami untuk tukeran contact dan selanjutnya keep in touch. Namanya Radit...
***
Agustus 2013
Deru ombak menyadarkan lamunanku namun aku masih tidak
bergeming. Matahari mulai meninggi dan sinar terikanya berhasil membuat
pelipisku menggulirkan tetes keringat. Tempat ini... pernah menjadi saksi kisah
cintaku dengan Radit. Dari awal pertemuan, dan bagaimana aku menghabiskan tiga
hari berikutnya rajin menyambangi tempatnya bekerja hingga Andien ikut
berpacaran dengan sahabat Radit yang menjadi executive chef di restoran yang sama. Selesai pacar-pacar kami bekerja
maka tibalah waktunya akan berjalan-jalan seputaran The Bay, entah itu ke batu
karang untuk melihat water block or as
simple as dinner at Bebek Bengil yang terletak tidak jauh dari Pirates.
Liburan semesteran yang begitu indah dan aku menjalin hubungan jarak jauh
sesudahnya dengan Radit. I’m falling in
love with him. He’s the most gentleman I ever know. Hal itu turut diutarakan
olehnya menyangkut pengalaman baru-baru ini ia baru kehilangan sosok ibu yang
sangat dicintainya sehingga memperlakukan perempuan dengan respek.
Hari demi hari berlalu. Bulan demi bulan pun kami lalui
dengan setia untuk menyayangi satu sama lain. Tahun berganti dan ikatan anatara
aku dan Radit sangat kuat hingga tidak jarang kami memasukkan rencana
pernikahan dalam perbincangan, walaupun aku tahu angka dari umurku masih jauh
untuk ke tahap itu. Terlebih kami tidak memiliki tabungan apa-apa, namun aku
dengan sabar menunggu momen untuk dapat hidup bersamanya. Hingga aku melakukan
kesalahan.
“Nungki,
kamu lembur lagi?” Radit bertanya melalui telefon. “Kamu sebagai anak magang
kerjanya kok rodi begitu sih?”
“Yah
kamu kan tau kerja di media gimana. Tapi ini passion aku.”
“Tapi
kamu sadar nggak, terakhir kita ngobrol sebelum tidur sudah lama sekali. Aku
kangen sama kamu.”
“Hmmm
yah, maaf aku harus pergi, bisa-bisa aku nggak pulang nih karena kerjaan
numpuk. Sudah ya.” Dan aku memutuskan telefon.
“Kamu bilang
apa sama pacar kamu?” mas Andy, produser di tempat aku bekerja bertanya sambil
membawakan tas tanganku dan kami beranjak menuju pintu keluar kantor.
“Aku
bilang pulang malam karena lembur.”
Seuntai
senyum hadir pada bibirnya. Kemudian ia menggandeng tanganku lembut, “yuk. Aku
mau traktir kamu candle light dinner
di restoran yang aku liat referensinya romantis banget...”
Aku
tersenyum mendengar ajakannya dan menyenderkan kepalaku di bahunya. Hubungan
seperti ini yang aku cari. Dia bisa hadir setiap saat dan umurnya pun sudah
dewasa sehingga keadaan finansialnya juga sudah mapan. Aku tidak bisa
mengandalkan upah bartender untuk menyenangkanku, aku harus realistis dan sudah
tidak sabar menunggu. Setidaknya pada saat itulah yang ada di pikiran bodohku.
Aku
menunduk dan menutupi wajah dengan kedua tanganku di pantai Nusa Dua ini. Aku 3
tahun yang lalu begitu bodoh, terlena pada rayuan atasanku yang pada akhirnya
menemukan ternyata dia sudah memiliki kekasih dan aku hanya dijadikan pelarian
dari kejenuhan hubungan jangka lamanya, yang pada akhirnya pun harus menerima
ditinggalkan begitu saja. Dan pada saat aku teringat pada Radit, semuanya sudah
terlambat. Radit sudah mengetahui hubunganku melalui stalking yang ia lakukan pada media sosial. Mas Andy sering me-mention akunku ditambah postingan
foto-foto ketika kami sedang jalan berdua. Hubunganku dengan Radit berakhir
sudah di bulan Mei yang kering. Dan semenjak itu, aku selalu merindukan
sosoknya...
Ah. Aku
mengusap air mata dan memeluk diriku sendiri berusaha untuk bersikap tegar.
Cuaca begitu cantik, begitu juga dengan momen hari ini. Hari yang spesial untuk
Andien. Dia akan menikah dengan pacar lamanya yang notabene sahabat dari Radit
saat di Pirates Bay. Dan venue pemberkatan yang dipilih Andien, surprise surprise, di area The Bay.
Lebih tepatnya di restoran De Opera dengan tema Pool Party.
Aku
sudah tidak berani mencoba untuk menghubungi Radit. Selain itu, aku mendengar
kabar Radit sudah memiliki tambatan hati. Seorang perempuan yang lebih muda
dariku dan dia sangat cantik. Dan sangat memuja Radit. Setidaknya itulah yang
aku dengar dari calon suami Andien. Aku tersenyum sambil mendoakan yang terbaik
untuk sosok yang pernah aku cintai.
Tapi
aku tidak dapat membohongi diriku sendiri. Aku membiarkan air mataku turun
dengan deras walaupun aku tidak terisak. Aku memaksakan untuk menatap lurus ke
depan. Ini adalah kesalahanku sendiri dan aku tidak boleh cengeng untuk
meratapinya, walaupun hatiku merasakan yang lain, namun aku bersikeras untuk
berlogika. Empat tahun terlewat tanpa ada contact
darinya, tentu saja dia sudah lupa padaku. Seorang perempuan bodoh yang
mengkhianatinya tidak pantas untuk dikenang.
Tiba-tiba
terdengar suara sengau khas yang selalu aku rindukan beberapa tahun belakangan
ini hadir dari belakangku, “lagi ngitemin badan biar kayak bule-bule ya?”
Aku
menoleh dengan terkejut untuk memastikan. Sosok jangkung dan kurusnya, tidak
berubah banyak. Tatapannya masih meneduhkan. Berusaha untuk tidak berkedip agar
sosok itu tidak hilang dan aku tidak terbangun dari mimpi ini namun... dia
disana, Radit...
“Ha-hai...”
aku tergagap.
“Kaya
ngeliat setan.”
“Ma-Maaf...”
dan tanpa bisa dihindari, air mataku turun dengan deras namun aku tetap
memaksakan untuk tersenyum dan berkata, “kamu diundang juga ya di pernikahan
Andien?”
“Bodoh,”
hanya itu tanggapan yang keluar dari mulut Radit dengan tatapan iba. Tentu
saja, bagaimana aku bisa sebodoh ini, pertanyaan macam apa itu? Dengan malu aku
menutupi wajahku namun hasilnya malah isakan keras yang keluar. Aku tidak
percaya dia disini dan aku akan bisa mengutarakan yang selama ini ingin aku keluarkan.
Yang selama ini tidak ada kesempatan dan bagaimana hal langka itu sangat aku
nantikan. Sangat-sangat aku impikan hingga tidak pernah tercapai dan rasanya
seperti cita-cita.
Radit
menunduk untuk memelukku yang tidak bisa beranjak dari tempatku melamun sedari
tadi. Aku menyerah untuk menahan tangisku hingga membiarkannya pecah dan tidak
memedulikan jika ada orang yang melihat. All
I care about is him, in front of me, and in my arms... finally.
***
Mei 2014
“Selamat
ulang tahun, Nungki.”
“Selamat
hari pernikahan, Radit,” aku menatapnya lekat-lekat kemudian Radit mengecup
lembut buku-buku jariku. Kami telah selesai melakukan upacara pernikahan yang
tentu saja diadakan di The Bay dan sungguh beruntung bisa mendapatkan saat hari
aku berulang tahun. Kami sepakat untuk mengadakannya disini karena tempat
inilah dua kali kami dipersatukan. Namun kali ini tidak akan ada perpisahan
bodoh yang menyakitkan, aku meyakinkan sendiri dalam hati.
Aku dan
Radit menyewa venue di Restauran Hong Xing karena pemandangannya yang
menakjubkan. Kami memang senang dengan konsep outdoor. Selain itu cita rasa
dari semua masakannya masuk dengan selera kami dan keluarga.
“Woi
pengantin, tau sih lagi baru-barunya, tapi jangan lupa dong kita nungguin
lempar bunga nih!” pekik Andien yang walaupun sudah mempunyai pasangan tetap
namun selalu menantikan momen merebut bunga dari pelemparan pengantin.
“Ayok,”
aku meraih tangan Radit dan mengenggamnya, mengajak untuk melempar bouqet bunga bersama-sama.
“Make a wish dulu sayang,” ujarnya.
“Nggak
mau, aku mau bersyukur. Right now, I
couldn’t ask for more.”
Ya, aku
tidak dapat meminta yang lebih disaat aku sedang menjadi perempuan paling
bahagia di planet, yaitu perempuan yang menyadari kesalahannya dan mempunyai
kesempatan untuk tidak mengulangi kembali. Suratan cerita ini menjadi definisi
kebahagiaan bagiku. Dan seiring dengan selesainya ungkapanku, Radit mengecup
pelan bibirku kemudian pada saat bersamaan, sebuah bouquet bunga pun melayang keatas, seakan ikut bersorak merayakan
kebahagiaanku.