Kamis, 17 April 2014

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!


Pirates of The Opera

Agustus 2013
Angin semilir membelai lembut wajahku. Menyentuh rambutku yang bergelombang dan membawanya bergoyang. Aku terpaku sambil menopang dagu, menatap desiran ombak di hadapanku. Warnanya berbaur dengan kacamata hitam yang sedang kupakai, membuat nyaman terhadap warna yang tampak pada pandangan. Saat ini matahari Pantai Nusa Dua bercahaya dengan sangat terik, menyengat kulit. Namun aku tidak memedulikan. Cukuplah memercayakan krim penahan panas matahari menjalankan tugasnya.
            Aku menghela nafas, menegakan badan dan membenarkan gaun musim panas berlengan buntung yang sedang kupakai, berkali-kali mengangkat gaun dan memperlihatkan sebagian kulit di atas lututku. Gaun berwarna biru langit ini pun kupakai saat pertama bertemu dengannya. It’s been four years, but still, he’s all I’m thinking of. Radit...
***
Juli 2008
Aku bersahabat dengan Andien selama lebih dari 5 tahun hingga sekarang masuk masa perkuliahan. Walaupun kami berbeda universitas namun kami selalu menyempatkan waktu untuk bertemu, termasuk ketika masa liburan semesteran datang. Aku dan Andien menjadwalkan untuk berwisata ke Pulau Dewata, Pulau Bali. Kami memutuskan untuk pergi kesana dikarenakan terakhir berkunjung adalah sama-sama ketika SMA (ketika itu masa study tour), budget untuk kesana juga masuk ke kantong mahasiswa kami dan, biasalah, kami ingin berpesta hingga tepar. Sudah menjadi rahasia umum jika pergi ke Bali maka setiap hari adalah hari libur.
Dengan bermodalkan nekat pergi hanya berdua dan setelah browsing tempat-tempat wisata dengan harga backpacker, sampailah kami di Bali. Melalui rekomendasi seorang teman, kami memutuskan untuk pergi ke The Bay.
“Tempat apaan tuh?” tanyaku kepada Andien yang sedang menyetiri mobil sewaan kami.
“Ya istilahnya kaya food court gitu cuma ini jauh lebih besar dan pastinya, ada pantai! Bening banget cuy gue liat tempatnya. Yang gue penasaran banget sih ada restoran namanya Pirates, jadi makannya di rumah pohon gitu, bisa ketemu tupai cuy!” walaupun matanya tertutup oleh kacamata hitam, namun aku dapat mengatakan ia berbinar-binar penuh semangat. Aku menurut saja memercayakan pilihan Andien. Selama ini untuk urusan selera, aku selalu menemukan kecocokan dengannya dalam hal apapun.
“Cuy, bule cuy... ganteng!” seru Andien mengarahakan pandangan kepada dua orang pria turis asing yang sedang bercakap di pinggir jalan yang kami lewati. Ah ya, termasuk kecocokan selera dalam menilai tipe pria.
Akhirnya perjalanan aku tahu mendekati The Bay dikarenakan pada perempatan terdapat sebuah penunjuk jalan dengan tulisan “The Bay” besar-besar. Tidak lama kemudian kami disambut oleh gerbang berarsitektur pura yang megah dan kami diarahkan kepada jalanan yang berkelok. Sepanjang jalan aku kagum terhadap pemandangannya yang bersih dan terawat. Tidak heran jika tempat ini dijadikan tempat pariwasata internasional. Sepertinya Andien mempunyai kebanggaan yang sama denganku karena untuk beberapa saat kami terdiam hanya menikmati perjalanan area The Bay.
“Nah ini,” kata Andien tiba-tiba, “kamu mau yang mana Nung, ada banyak pilihan restonya. Kita tinggal parkir disini kemudian berjalan kaki karena letak merchantnya semua berdampingan.”
Andien memberhentikan mobil di depan tugu dengan brand-brand merchant yang terdapat di area The Bay. Ada De Opera, Bebek Bengil, Chinese Restaurant Hong Xing... “aku sih penasaran sama Pirates yang sempet kamu ceritain itu,” putusku, “kita nongkrong disana aja yuk!” Andien pun menganggukan kepalanya dengan mantap.
Andien memarkir mobil dan memasuki food area kami disambut dengan lorong yang di kanan-kirinya terdapat patung-patung memancurkan air. Patung yang berwujud nenek dan kakek memakai baju adat Bali sungguh pemandangan yang menentramkan dan penuh harmoni. Mengetahui berada pada tempat yang sarat dengan budaya di alam yang sangat indah. Begitu melewatinya, mataku langsung disajikan dengan pemandangan pantai luas yang biru dan seperti bersinar. Beruntung cuaca cerah, aku dan Andien terpaku sejenak sambil mengeratkan topi pantai di kepala kami.
“Sini,” aku menggandeng Andien ke arah area yang bertuliskan Pirates Bay. Aku sudah tidak sabar untuk mengagumi keindahan kontrasnya biru laut dengan pasir berwarna khaki ini dari atas pohon! Whoa, kami langsung disuguhi oleh pemandangan kapal yang terdampar di daratan. Dengan tidak sabar, aku dan Andien setengah berlari ke arah bar terbuka tidak jauh dari situ.
“Halo!” tiba-tiba sesosok pemuda muncul dari balik bar. Aku sekonyong-konyong berhenti mendadak, dikarenakan pemuda itu sangat, mmm, good looking.
“Hai,” Andien terkikik membantuku, “orange juice dua ya, please!”
“Berdua aja nih?” tanya pemuda bartender tersebut sambil memotong-motong jeruk dan memerasnya. “Iya,” kataku sambil mengeluarkan senyum terbaikku sambil malu-malu. “Sering kesini?” tanyanya sambil menuangkan sari jeruk ke dalam shaker. “Baru pertama kali. Mungkin kamu bisa jadi guide kita?” ujar Andien dengan agresif. Aku hanya tersenyum sembari mengagumi keberanian Andien dalam berkomunikasi. Tapi itulah ciri khas Andien sejak lama, tipis antara agresif dengan supel.
Bartender tersebut tertawa. Gosh, aku suka mendengar tawanya. Begitu lepas dan... renyah. Renyah?
“Emang sukanya kemana?” bartender tersebut kembali mengarahkan pandangan kearahku. Kali ini Andien membiarkanku untuk bersuara, namun aku malah salah tingkah. “Ng... kemana aja yang penting terbakar matahari.”
Pemuda tersebut tertawa lagi, “oh gitu ya? Lagi program ngitemin badan emangnya, biar kayak bule-bule ya?”
Komentarnya cheesy dan pasaran, namun aku tidak memedulikan. That face is still dominating my eyes, baby... Aku hanya tersenyum menerima segelas jeruk dingin yang selesai ia buatkan.
“Udah kemana aja?” tanyanya lagi. Ya ya ya this guy always launch some common question but strangely, I feel glad. “Kita baru sampai kemarin malam jadi masih seputaran hostel aja,” jawabku. Andien melirik penuh arti. Ia tahu jika aku sudah menjawab dengan jujur pertanyaan tottally stranger, maka aku sepenuhnya tertarik. Andien mengenal karakterku yang tak acuh kepada pemuda asing jika mulai sok kenal. Dan aku... memperlakukan bartender muda ini berbeda.
Keseluruhan bartender ini memiliki badan yang tinggi dan langsing, cenderung kurus. Hidungnya super mancung dinaungi alis yang tebal dan mata yang meneduhkan. Tulang pipinya proposional dengan garis rahang yang kuat.
“Tinggal dimana?” gantian aku yang bertanya.
“Di Jimbaran situ deket.”
Dan mulailah kami bertiga asyik berbincang mengenai hal-hal yang umum. Kuliah dimana, asal kota darimana, hingga tempat liburan wisata faforit. Perlahan senja mulai mendatangi pantai Nusa Dua dan area tempat kami mengobrol pun meredup. Cahayanya digantikan oleh puluhan obor yang dipasang pada arena Pirates Bay. Sayup-sayup mengalun suara musik dikumandangkan, terdengar alunan lembut dari musik Sweetheart yang dibawakan oleh band indie dari Denmark, Tiger Baby. Aku terdiam dan menikmati suasana yang indah ditambah menikmati pilihan musik yang menenangkan. Inilah salah satu definisi bahagia bagiku. Senja, pantai, sahabat, dan pemuda asing yang menarik hatiku.
***
Seperti yang sudah dapat diterka, aku dan sang bartender tidak dapat memungkiri chemistry yang kami miliki, sedikit banyak berkat bantuan Andien juga yang memancing kami untuk tukeran contact dan selanjutnya keep in touch. Namanya Radit...
***
Agustus 2013
            Deru ombak menyadarkan lamunanku namun aku masih tidak bergeming. Matahari mulai meninggi dan sinar terikanya berhasil membuat pelipisku menggulirkan tetes keringat. Tempat ini... pernah menjadi saksi kisah cintaku dengan Radit. Dari awal pertemuan, dan bagaimana aku menghabiskan tiga hari berikutnya rajin menyambangi tempatnya bekerja hingga Andien ikut berpacaran dengan sahabat Radit yang menjadi executive chef di restoran yang sama. Selesai pacar-pacar kami bekerja maka tibalah waktunya akan berjalan-jalan seputaran The Bay, entah itu ke batu karang untuk melihat water block or as simple as dinner at Bebek Bengil yang terletak tidak jauh dari Pirates. Liburan semesteran yang begitu indah dan aku menjalin hubungan jarak jauh sesudahnya dengan Radit. I’m falling in love with him. He’s the most gentleman I ever know. Hal itu turut diutarakan olehnya menyangkut pengalaman baru-baru ini ia baru kehilangan sosok ibu yang sangat dicintainya sehingga memperlakukan perempuan dengan respek.
            Hari demi hari berlalu. Bulan demi bulan pun kami lalui dengan setia untuk menyayangi satu sama lain. Tahun berganti dan ikatan anatara aku dan Radit sangat kuat hingga tidak jarang kami memasukkan rencana pernikahan dalam perbincangan, walaupun aku tahu angka dari umurku masih jauh untuk ke tahap itu. Terlebih kami tidak memiliki tabungan apa-apa, namun aku dengan sabar menunggu momen untuk dapat hidup bersamanya. Hingga aku melakukan kesalahan.
“Nungki, kamu lembur lagi?” Radit bertanya melalui telefon. “Kamu sebagai anak magang kerjanya kok rodi begitu sih?”
“Yah kamu kan tau kerja di media gimana. Tapi ini passion aku.”
“Tapi kamu sadar nggak, terakhir kita ngobrol sebelum tidur sudah lama sekali. Aku kangen sama kamu.”
“Hmmm yah, maaf aku harus pergi, bisa-bisa aku nggak pulang nih karena kerjaan numpuk. Sudah ya.” Dan aku memutuskan telefon.
“Kamu bilang apa sama pacar kamu?” mas Andy, produser di tempat aku bekerja bertanya sambil membawakan tas tanganku dan kami beranjak menuju pintu keluar kantor.
“Aku bilang pulang malam karena lembur.”
Seuntai senyum hadir pada bibirnya. Kemudian ia menggandeng tanganku lembut, “yuk. Aku mau traktir kamu candle light dinner di restoran yang aku liat referensinya romantis banget...”
Aku tersenyum mendengar ajakannya dan menyenderkan kepalaku di bahunya. Hubungan seperti ini yang aku cari. Dia bisa hadir setiap saat dan umurnya pun sudah dewasa sehingga keadaan finansialnya juga sudah mapan. Aku tidak bisa mengandalkan upah bartender untuk menyenangkanku, aku harus realistis dan sudah tidak sabar menunggu. Setidaknya pada saat itulah yang ada di pikiran bodohku.
Aku menunduk dan menutupi wajah dengan kedua tanganku di pantai Nusa Dua ini. Aku 3 tahun yang lalu begitu bodoh, terlena pada rayuan atasanku yang pada akhirnya menemukan ternyata dia sudah memiliki kekasih dan aku hanya dijadikan pelarian dari kejenuhan hubungan jangka lamanya, yang pada akhirnya pun harus menerima ditinggalkan begitu saja. Dan pada saat aku teringat pada Radit, semuanya sudah terlambat. Radit sudah mengetahui hubunganku melalui stalking yang ia lakukan pada media sosial. Mas Andy sering me-mention akunku ditambah postingan foto-foto ketika kami sedang jalan berdua. Hubunganku dengan Radit berakhir sudah di bulan Mei yang kering. Dan semenjak itu, aku selalu merindukan sosoknya...
Ah. Aku mengusap air mata dan memeluk diriku sendiri berusaha untuk bersikap tegar. Cuaca begitu cantik, begitu juga dengan momen hari ini. Hari yang spesial untuk Andien. Dia akan menikah dengan pacar lamanya yang notabene sahabat dari Radit saat di Pirates Bay. Dan venue pemberkatan yang dipilih Andien, surprise surprise, di area The Bay. Lebih tepatnya di restoran De Opera dengan tema Pool Party.
Aku sudah tidak berani mencoba untuk menghubungi Radit. Selain itu, aku mendengar kabar Radit sudah memiliki tambatan hati. Seorang perempuan yang lebih muda dariku dan dia sangat cantik. Dan sangat memuja Radit. Setidaknya itulah yang aku dengar dari calon suami Andien. Aku tersenyum sambil mendoakan yang terbaik untuk sosok yang pernah aku cintai.
Tapi aku tidak dapat membohongi diriku sendiri. Aku membiarkan air mataku turun dengan deras walaupun aku tidak terisak. Aku memaksakan untuk menatap lurus ke depan. Ini adalah kesalahanku sendiri dan aku tidak boleh cengeng untuk meratapinya, walaupun hatiku merasakan yang lain, namun aku bersikeras untuk berlogika. Empat tahun terlewat tanpa ada contact darinya, tentu saja dia sudah lupa padaku. Seorang perempuan bodoh yang mengkhianatinya tidak pantas untuk dikenang.
Tiba-tiba terdengar suara sengau khas yang selalu aku rindukan beberapa tahun belakangan ini hadir dari belakangku, “lagi ngitemin badan biar kayak bule-bule ya?”
Aku menoleh dengan terkejut untuk memastikan. Sosok jangkung dan kurusnya, tidak berubah banyak. Tatapannya masih meneduhkan. Berusaha untuk tidak berkedip agar sosok itu tidak hilang dan aku tidak terbangun dari mimpi ini namun... dia disana, Radit...
“Ha-hai...” aku tergagap.
“Kaya ngeliat setan.”
“Ma-Maaf...” dan tanpa bisa dihindari, air mataku turun dengan deras namun aku tetap memaksakan untuk tersenyum dan berkata, “kamu diundang juga ya di pernikahan Andien?”
“Bodoh,” hanya itu tanggapan yang keluar dari mulut Radit dengan tatapan iba. Tentu saja, bagaimana aku bisa sebodoh ini, pertanyaan macam apa itu? Dengan malu aku menutupi wajahku namun hasilnya malah isakan keras yang keluar. Aku tidak percaya dia disini dan aku akan bisa mengutarakan yang selama ini ingin aku keluarkan. Yang selama ini tidak ada kesempatan dan bagaimana hal langka itu sangat aku nantikan. Sangat-sangat aku impikan hingga tidak pernah tercapai dan rasanya seperti cita-cita.

Radit menunduk untuk memelukku yang tidak bisa beranjak dari tempatku melamun sedari tadi. Aku menyerah untuk menahan tangisku hingga membiarkannya pecah dan tidak memedulikan jika ada orang yang melihat. All I care about is him, in front of me, and in my arms... finally.
***
Mei 2014
“Selamat ulang tahun, Nungki.”
“Selamat hari pernikahan, Radit,” aku menatapnya lekat-lekat kemudian Radit mengecup lembut buku-buku jariku. Kami telah selesai melakukan upacara pernikahan yang tentu saja diadakan di The Bay dan sungguh beruntung bisa mendapatkan saat hari aku berulang tahun. Kami sepakat untuk mengadakannya disini karena tempat inilah dua kali kami dipersatukan. Namun kali ini tidak akan ada perpisahan bodoh yang menyakitkan, aku meyakinkan sendiri dalam hati.
Aku dan Radit menyewa venue di Restauran Hong Xing karena pemandangannya yang menakjubkan. Kami memang senang dengan konsep outdoor. Selain itu cita rasa dari semua masakannya masuk dengan selera kami dan keluarga.
“Woi pengantin, tau sih lagi baru-barunya, tapi jangan lupa dong kita nungguin lempar bunga nih!” pekik Andien yang walaupun sudah mempunyai pasangan tetap namun selalu menantikan momen merebut bunga dari pelemparan pengantin.
“Ayok,” aku meraih tangan Radit dan mengenggamnya, mengajak untuk melempar bouqet bunga bersama-sama.
Make a wish dulu sayang,” ujarnya.
“Nggak mau, aku mau bersyukur. Right now, I couldn’t ask for more.”
Ya, aku tidak dapat meminta yang lebih disaat aku sedang menjadi perempuan paling bahagia di planet, yaitu perempuan yang menyadari kesalahannya dan mempunyai kesempatan untuk tidak mengulangi kembali. Suratan cerita ini menjadi definisi kebahagiaan bagiku. Dan seiring dengan selesainya ungkapanku, Radit mengecup pelan bibirku kemudian pada saat bersamaan, sebuah bouquet bunga pun melayang keatas, seakan ikut bersorak merayakan kebahagiaanku.






@nurulujung