Setelah tawar menawar yang dibumbui pura-pura meninggalkan pangkalan ojek demi harga yang dimau, didapatlah harga Rp 60 ribu - tapi akhirnya dibayar Rp 75 ribu/ojek karena ditengah jalan hujan turun sangat derasnya. Seperti biasa, di tempat-tempat yang ada flyover/by pass agak tersendat dikarenakan pemakai kendaraan bermotor yang lain menjadikannya tempat untuk berteduh. Belum lagi, beberapa titik (lebih tepatnya sih banyak titik) ruas jalan yang berubah menjadi kali dadakan, bonus dengan aliran derasnya. Padahal hujan lebat turun belum ada jangka waktu satu jam.
Ada yang bilang pengerukan tanah di Jakarta semakin tidak terkontrol, di sisi lain dikarenakan tumpukan sampah yang tidak pada tempatnya, sehingga menghambat saluran-saluran. Ada juga dikarenakan lahan yang seharusnya dijadikan tempat penyerapan ditiban oleh semen dan aspal - dengan kata lain, aliran air pun tergenang dan tidak bisa disimpan dalam bumi. Huft. Apapun itu, membuat saya ingin pindah domisili. Tapi kemana? Kota-kota besar di Indonesia sekarang ini memiliki masalah yang sama. Kemacetan dan banjir. Bahkan di kota Bandung yang dikenal dengan sebutan kota kembang, pada arteri-arterinya mulai diberlakukan 4 in 1. Kalah dong Jakarta. Dan Bali nggak usah ditanyain deh ya berhubung sedang ada proyek pembangunan bandara secara besar-besaran juga. Walaupun rumah saya di selatannya Jakarta (bukan Jakarta Selatan), namun imbasnya tetap terasa. Secara mata pencaharian dan sosialisasi tidak lepas dari daerah sana.
I don't want to fight alone to make this world (at least, city) a better place. But until then, this is my fight :)
![]() |
Hoahm... siwer mikirin Jakarta |