Minggu, 21 April 2013

Letters To

Hari ini adalah hari perayaan nasional dengan nama "Hari Kartini" sesuai dengan  Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, pada zaman pemerintahan Soekarno waktu itu (sumber: wikipedia) sekaligus hari lahirnya Kartini. Dalam keputusan tersebut beliau juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Bagaimana tidak, menurut saya, isu-isu yang diutarakan pada Kartini melalui surat-suratnya menyiratkan pemikiran yang sangat modern pada abad 19 sebagai perempuan dari bangsa yang masih terjajah. Uniknya, pemikiran yang ia ungkap masih dijadikan perdebatan hingga masa sekarang dengan pro dan kontra yang tidak (atau belum, atau tidak mungkin) absolut. Ia mengangkat topik yang saat itu kemajuan teknologi belum maju sehingga kognitifnya tidak dicemari oleh opini publik yang berkembang pesat seperti sekarang. Surat-suratnya dapat dibaca disini . Tidak akan idenya muncul karena membaca timeline twitter perempuan hedonis, newsfeed facebook, atau karena sedang meng-update berita dari yahoo news.
              I'm wondering then, tulisan seperti apa yang akan ia muat jika menjadi jurnalis pada masa sekarang ini? Apa tanggapannya mengenai konsep feminisme? Dan apakah dia tetap akan menikah disaat zaman ini membebaskan perempuan untuk memilih sendiri jalan hidupnya?
             Pastinya akan seru sekali jika membayangkan Kartini dapat terbang dari masa lalunya yang penuh dengan keningratan ke masa sekarang saat liberalisasi dijunjung tinggi. Apakah dia akan menangis tersedu-sedu atau malah bangga melihat banyaknya perempuan yang bebas speak up her mind?
             Sekarang-sekarang ini di Indonesia sendiri banyak Kartini-Kartini lain yang bermunculan dan tidak menjadi sorotan saking banyaknya. Mereka inspiratif, berkarya, dan berani untuk memperjuangkan hak-haknya. Mereka bisa menjadi CEO perusahaan (Ligwina Hananto), Chief Editor majalah ternama (Fira Basuki), dan aktif dalam bidang kemanusiaan (Valencia M. R.). Dan jutaan lain sebagainya yang hidup dan tinggal dalam lingkungan tidak tersorot media. 
Courtesy of Google Image
             Pada hakikatnya, perempuan itu sendiri lahir sebagai pejuang, diluar ia bisa berkontribusi terhadap khalayak masal. Mereka lahir dengan organ tubuh yang dirancang sedemikian rumit dan hebat oleh Tuhan YME dengan siklus nyeri pada rahim sebulan sekali, agar bisa memelihara makhluk hidup dalam perutnya, dan perjuangan untuk melahirkan didefinisikan sebagai sakit yang sama rasanya seperti dibakar hidup-hidup (saya pernah membaca pada sebuah akun twitter). Belum lagi diciptakannya sepatu tinggi (stilletos, pumps, wedges, boots, you name it) yang pemakaiannya menyebabkan risiko penyumbatan syaraf hingga dapat terserang osteoporosis. Demi sebuah prinsip "Beauty is pain" (but ugly is more pain, kalau kata teman saya, hahaha).


             Sekarang keinginan saya adalah membeli buku "Panggil Aku Kartini Saja"
Courtesy of Google Image 
karangan penulis yang saya sangat kagumi karena karyanya telah diterjemahkan ke dalam 44 bahasa dengan royalti yang diperebutkan beberapa negara, Pramoedya A. Toer. Selamat hari Kartini!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar